Secara ideologis, apresiasi dilakukan lewat pengembaraan sukma
sekaligus pembentukan raga. Ia menjalani ritual puasa mutih (berpuasa
dengan hanya makan nasi putih atau segelas air), ngetan (berpuasa, saat
berbuka hanya makan nasi ketan), ataupun puasa wali (tidak makan dan
tidak minum selama tiga hari atau tujuh hari dan seterusnya). Selama
puluhan tahun kelompok tari topengnya berpentas dari kampung ke kampung
dan dari desa ke desa untuk menghibur penonton dalam hajatan ataupun
ritual desa. Kekayaan filsafat dan cermin karakter manusia pada tari
topeng agaknya tidak selalu beriringan dengan kesukaan masyarakat yang
cenderung memilih jenis kesenian yang bersifat lebih menghibur, lebih
wah, nge-tren, dan nge-pop. Sejak dasawarsa 1980-an taritopeng mulai
jarang ditanggap. Keterpurukan itu makin menjadi ketika Mama (Bapak)
Amat meninggal dunia. Rasinah seperti "di-PHK". Belasan tahun kemudian
tari topeng tidak disentuhnya lagi. Sobra, badong, dodot, kedok, dan
busana kebesaran lainnya ia tanggalkan meski dengan dada sesak.
Apalagi, paranayaga lainnya satu per satu meninggal dunia, sudah renta,
atau mencari penghidupan lain. "Tari topeng hanyalah masa lalu.
Sekarang, orang tak butuh tari topeng, tak ada yang nanggap," ujar Mimi
Ras atau juga biasa dipanggil Mak Inah itu dan siapa sangka ketika
sudah 15 tahun meninggalkan dunia tari, ia "dipaksa" menari lagi. Endo
Suanda, Toto Amsar Suanda, dan pengajar STSI Bandung lain saat itu
berkeras merayunya.
Pertemuan yang tidak diduga, atas petunjuk Mama
Taham, seniman tradisional pemimpin Sanggar Mulya Bhakti, Tambi,
Sliyeg, Indramayu, yang juga memiliki kelompok nayaga tari topeng dan
wayang kulit, menunjuk Rasinah sebagai salah satu penari yang masih
tersisa di Indramayu. Rasinah menolak. Ia merasa sudah tua, sudah
belasan tahun tidak menari, sudah lupa dunia tari. Bahkan, dunia tari
mengantarkannya kepada kepapaan materi. Pendapatan tidak menentu.
Rumahnya pun hampir roboh. Akan tetapi, ketika gamelan topeng
berkumandang yang ditabuh para nayaga Mama Taham, ia seakan-akan
menemukan kembali dunianya yang hilang. Sebuah dunia tempatnya
mengekspresikan karakter manusia lewat tari Panji, Pamindo, Tumenggung,
ataupun Kelana. Ketika menari Kelana, kerentaan usia 65 tahun tidak
ada. Kakinya lincah mengentak- entak, berderap, menyepak- nyepak,
ataupun berjalan dengan pongahnya. Nuansa kemarahan menyebar di
sekelilingnya, tinggi hati, berkuasa, dan egois dengan kegarangan kumis
hitam tebal, mata melotot, dan wajah merah. Ekspresi tubuh, tangan,
kaki, kepala, hati, dan jiwa menyatu dalam karakteristik angkara murka.
Namun, adegan yang penuh ruh dan energi itu justru menjadi kontras saat
tarian usai dan kedok penari dibuka.
Wajah yang tersembul adalah
perempuan renta, ringkih, keriput, bahkan (maaf) mata kirinya pun sudah
cacat. Endo, Toto dan Mama Taham berhasil kembali membawanya kembali ke
dunia tari. Mereka membawanya kembali berpentas sampai ke Bandung,
Jakarta, Solo, Bali bahkan beberapa kota di Jepang. Undangan pentas
seperti mengalir dari berbagai tempat, kota, dan negara. Kekayaan
karakteristik topeng ia suguhkan dan banyak diapresiasi. Rasinah adalah
harta karun yang lama terpendam di bawah samudra dunia kesenian
tradisional Indramayu yang kaya dan beragam. Setelah generasi tari
topeng Cirebon, dari Ibu Suji, Ibu Dewi, hingga Ibu Sawitri, kemunculan
Rasinah adalah fenomena tersendiri. Berbagai penghargaan diterimanya,
dari tingkat kabupaten, provinsi, nasional, hingga internasional.
Harta
karun itu bukan hanya milik Indramayu, Jawa Barat, dan Indonesia,
melainkan juga dunia internasional. Dalam kerentaan menuju usia 80
tahun karena stroke menyerangnya yang membawanya ke sang khalik.
Pemerintah Kabupaten Indramayu berencana membuat monumen dirinya.
Rasinah tentu tidak mungkin lagi menari Kelana yang beraroma
kesombongan dunia, keangkuhan penguasa, dan kepongahan sang angkara
murka. Di pekuburan tepi pematang sawah di desa Pekandangan itu mungkin
terlintas ada tarian Panji yang halus dan lembut sebagai pengembaraan
sukma yang impresif dan utuh, seperti bayi baru lahir dalam gambaran
kedok putih-bersih.
Selamat jalan, sang maestro.
Kesenian tradisional lain seperti Debleng dengdet, Laisan, Kuda
lumping, Berokan dan lain-lain perlu mendapat perhatian dari kita
semua, juga pemerintah jangan memilah jenis kesenian tertentu untuk
tujuan pencitraan penguasa yang berskala pendek dan pemerintah pun
harus menunjuk Pamong Budayanya dari kalangan seniman lokal agar
selaras laksana tembang dan gamelan karena sang pamong tidak hanya
memperhatikan penampilan dipanggung tapi juga melestarikan dan
menghidupkan kembali warisan seni yang ada, dan yang lebih penting lagi
memperhatikan kehidupan para pelaku seni tradisional yang nasibnya
mungkin lebih buruk dari almarhumah mimi Rasinah.
Akhirnya kita mesti berbangga betapa budaya seni yang ada adalah
bukti kemandirian bangsa kita dulu yang memang kini harus diakui
semakin tergerus budaya asing, setidaknya
Nenek moyang kita dulu menunjukan kalau bangsa kita benar-benar hebat !
(Penulis Kang Yana Cikedung, tinggal di Cikedung, dari berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar