Indramayu mencetak penari-penari topeng kelas dunia. Berkaca pada
kasus Rasinah, sistem pendidikan modern kini diterapkan dalam proses
regenerasi seniman.
Namanya bersinar di tingkat dunia. Wangi Indriya pernah mencicipi
gedung-gedung pertunjukan ternama, mulai dari Esplanade hingga Teatre
Lliure. Di bawah arahan sutradara Broadway, Robert Wilson, dia
memerankan Wé Nyiliq Timoq dalam I La Galigo.
Tapi, hari ini, Wangi lebih memilih menari di sebuah desa di
Sukmajaya, daerah yang dihuni banyak rumah uzur bertubuh bambu dan
beratap limasan. Butuh satu jam untuk menjangkaunya dari Jatibarang,
pusat kota Indramayu. “Di sini suasananya masih asyik kan,” ujar Wangi.
Anjing-anjing kampung terus menggonggong saat kami tiba.
Tubuhnya tegak lurus dengan kedua kaki terbuka membentuk kuda-kuda.
Dia bergerak lambat, sangat lambat, nyaris tak terlihat sedang menari.
Wangi mengenakan sobra (mahkota) dengan sumping (semacam
hiasan mirip rambut). Kain batik bermotif flora khas Paoman mengubur
kedua kakinya. “Saya terbiasa menari di mana saja,” ujarnya lagi.
|
Wangi indriya |
|
Selang 20 menit, tangannya menarik topeng yang dibungkus kain ules.
Tariannya melambangkan bayi yang baru lahir. Satu per satu warga keluar
rumah untuk menyaksikan pentas dadakannya. Lebih berupa gerak ritual,
Tari Panji tak peduli dengan kenikmatan penonton. Sang penari dipaksa
menahan gerak dan emosi, kontradiktif dengan nada-nada rancak yang
mengiringinya. Dalam panggung yang komplet, tari ini diiringi gending
Kembang Sungsang yang sukar dimainkan.
Tari Panji juga menuntut banyak aturan. Penari, misalnya, dilarang
berkeringat atau mengangkat bahu ketika menarik napas. “Seperti mati sejeroning urip, urip sejeroning mati,”
jelas Wangi. Sebelum pentas, wanita asal Desa Tambi ini melakoni
serangkaian puasa, termasuk berpantangan garam dan daging.
Wangi adalah salah satu produk terbaik Indramayu. Seniman kelahiran
1961 ini ditempa oleh kerasnya “jalanan.” Dia pentas dari panggung ke
panggung dalam beragam hajatan yang berlangsung di sawah, pantai, atau
kuburan. Ayahnya, Taham, seorang dalang wayang terpandang. Kakeknya,
Wisad, punya reputasi harum sebagai seniman serbabisa.
Seluruh pamannya menjadi nayaga (penabuh gamelan) atau pembuat wayang
dan topeng. Empat saudaranya berprofesi dalang atau pesinden. Kini,
Wangi menjabat Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia cabang Indramayu.
Sanggar Mulya Bhakti tempatnya dibesarkan mirip sasana seni. Wangi
bisa belajar aliran apa saja langsung dari sumbernya. Dia sudah
mendalang sejak kelas empat SD, bahkan pernah jatuh sakit akibat tiga
malam mewakili ayahnya mendalang. Dia baru berhenti mendalang usai
pergelangan pahanya terkilir akibat terlalu keras memukul keprak.
Wangi mulai menekuni tari topeng pada usia sembilan tahun.
Perjuangannya panjang dan penuh keringat. Dia awalnya berguru pada
dalang topeng terkenal Nargi dan Tarip asal Sukagumiwang, lalu secara
perlahan menguasai Tari Rumyang, Tumenggung, Klana Gandrung, dan Klana
Udeng. Latihannya diawasi saksama oleh sang kakek dan ayah. “Ayah
melatih dengan musik dari mulut sambil memegang rotan,” kenangnya.
Ketika hendak menjadi dalang topeng, Wangi melalui proses “uji kelayakan” yang melelahkan: bebarang (mengamen) di tujuh titik berbeda. Diiringi panjak (nayaga),
dia menari di perempatan jalan, di rumah kepala desa, di balai desa,
atau di depan rumah orang yang memintanya menari. “Saya harus menari
terus-menerus mengikuti keinginan penonton yang sudah menyawer.”
Topeng membawa tubuhnya melanglang dunia. Wangi mencatatkan banyak
pentas kolaboratif. Pada 2002, dia terlibat dalam Silhouette Animation
Films Meet Dalang Wayang Kulit, pertunjukan yang diinisiasi oleh Goethe
Institute. Tugasnya merespons film-film bisu Jerman melalui seni
pendalangan. Kolaborasi unik itu lalu dibawa ke Prancis, Belgia, Swiss,
Italia, serta Belanda. Usai lolos audisi I La Galigo, namanya kian
bergema. Pada 2005, dia melawat ke Amerika, Italia, dan Australia.
Dengan pamor yang harum di kancah global, Wangi pun berubah menjadi
guru yang dihormati. Dia mengembangkan dan menyebarkan ilmunya kepada
publik melalui Sanggar Mulya Bhakti. Minat warga untuk belajar tari
topeng mulai menggejala dalam 10 tahun belakangan, dan Wangi bermimpi
tari topeng bisa memiliki umur yang panjang.
Kursus digelar di perut pendopo yang ditopang tiang beton. Kompleks
ini pernah dipugar pada 2009 memakai donasi dari Dana Kemanusiaan Kompas.
Hari ini, 60 anak datang bersamaan untuk belajar. Wangi tampak
kewalahan. Melihat kemampuan murid yang berbeda-beda, dia memecah
peserta ke dalam beberapa kelompok, dan semuanya harus antre untuk
berlatih.
Di antara para peserta, ada Musfia yang datang mengantarkan kedua
anaknya, Naura (6) dan Intan (12). Keduanya berguru pada Wangi sejak
setahun silam. “Mereka menari buat kenaikan kelas,” ujar Musfia yang
hanya perlu membayar Rp 10 ribu per kedatangan untuk tiap anaknya.
Tak semua siswanya perempuan. Tanaka (6), salah satu murid pria,
antusias mempelajari Tari Klana. Saban Jumat dan Minggu, dia datang
diboncengi ayahnya dengan menempuh perjalanan 13 kilometer dari Desa
Bunder. Sukasa mengaku anaknya menyukai tari topeng usai menonton sebuah
pertunjukan di pendopo Kabupaten Indramayu.
Dua tahun berguru di Sanggar Mulya Bhakti, Tanaka kini menguasai dua
nomor pakem: Klana Gandrung dan Klana Udeng. Dia juga kerap diajak Wangi
untuk pentas. Pernah saat tampil di acara Ngarot, semacam inisiasi bagi
remaja yang siap berumah tangga, Tanaka menjadi bintang favorit. Sobra yang dikenakannya penuh oleh uang yang ditancapkan dengan lidi. “Anak saya sampai ditarik-tarik oleh penonton,” kenang Sukasa.
Jauh sebelum Wangi, ada Mimi Rasinah. Namanya melegenda. Dia pernah
tampil di banyak institusi bergengsi, termasuk Taman Ismail Marzuki dan
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Pada 1994, Rasinah
melakoni muhibah ke Jepang dan Eropa. Dari situlah publik mengenal tari
topeng, cabang yang kemudian menjadi primadona di banyak pusat
kebudayaan dan kampus seni.
Tapi kisah Rasinah sebenarnya menyimpan pilu. Sebelum ditemukan
kembali oleh para penggiat seni, dia sempat tenggelam dan seolah
terlupakan. Wanita yang pernah difilmkan oleh Rhoda Grauer ini hidup
dibalut kemiskinan di sebuah rumah yang rentan ambruk. Nasib tragisnya
memberi pelajaran tentang pentingnya regenerasi seniman.
Adalah Endo Suanda dan Toto Amsar Suanda yang “mengembalikan” Rasinah
ke orbit tari. Kedua akademisi STSI ini sejak lama berniat
merekonstruksi tari topeng klasik. Keduanya bertamu ke rumah Rasinah di
Pekandangan yang kondisinya mengenaskan, lalu membujuknya untuk sudi
menari lagi.
Saat itu sang maestro berusia 64 tahun dan sudah 20 tahun pensiun
menari. Ada banyak alasan kenapa Rasinah undur diri dari dunia yang
membesarkan namanya. Salah satunya susutnya animo publik, sehingga
banyak grup beralih mendirikan grup sandiwara, tarling, atau organ
tunggal. Penyebab lainnya adalah kepergian suaminya yang juga pimpinan
grup sandiwara Harem Jaya. Demi menyambung hidup, perempuan kelahiran
1930 ini menjual gamelan dan topeng kepada pemburu barang antik.
Endo awalnya kesulitan membujuk Rasinah untuk kembali tampil. Rasinah
menolak dengan alasan tak lagi memiliki gamelan dan kedok. Setelah Endo
bersedia mencarikan perangkat tersebut, Rasinah kembali mengelak dengan
alasan hanya bisa pentas jika diiringi oleh suaminya. “Kita coba dulu,”
Endo terus merayu. “Saya tak bisa menggigit kedok lagi. Gigi sudah
ompong,” jawab Rasinah.
Pelan-pelan Rasinah terbujuk. Dia rela berlatih dengan diiringi
nayaga oleh Sanggar Mulya Bhakti. Rasinah lalu mementaskan Tari
Tumenggung. Tubuhnya kurus kering, tapi energinya menjalar dan
mengguncang panggung. Para panjak terbengong-bengong dan
kewalahan mengikuti gerakannya yang eksplosif. Dari situlah Endo
merekonstruksi tari topeng gaya Pekandangan yang sudah punah.
Endo kemudian terlibat lebih jauh: tak hanya mengurusi pertunjukan
Rasinah, tapi juga menyantuni hidupnya yang memprihatinkan. Bersama
skenografer Roedjito, Endo kerap memasok beras dan kebutuhan harian,
termasuk membawa Rasinah ke dokter saat dia jatuh sakit. Pernah Endo
mengontak ratusan koleganya untuk merenovasi rumah Rasinah.
“Saya benar-benar takut ia kejatuhan atap rumahnya,” ujarnya. Kini,
semangat dan dedikasi Rasinah dipelihara oleh Padepokan Tari Mimi
Rasinah, sanggar yang terletak tak jauh dari rumah dan makamnya. Tempat
ini dikelola oleh sang cucu, Earli Rasinah, bersama suaminya, Ade
Jayani. Di sinilah tongkat estafet tari topeng diwariskan ke generasi
penerus.
Taktik yang dipakai pengelola cukup cerdik. Berniat menjadikan
Padepokan Tari Mimi Rasinah tempat berkumpulnya anak muda, Ade memasang
seperangkat komputer dengan jaringan internet di panggung. “Saya ingin
mereka datang dulu,” ujarnya. “Jika sudah tertarik, pasti gampang diajak
main gamelan kapan saja.”
Earli mendukung langkah suaminya. Dia tak rela tragedi yang menimpa
neneknya terulang: setelah para nayaga dan suami meninggal, tak ada lagi
yang bisa mengiringi tari. “Mendidik nayaga juga penting,” ujarnya.
Kini, anaknya yang masih kelas 2 SD, Walan Jayani, sudah terampil
memainkan gendang.
Salah satu pemicu merekahnya kembali seni topeng adalah kian
terbukanya para dalang pada pendidikan formal. Earli Rasinah belajar di
STSI. Nur Anani, cucu maestro dalang topeng asal Losari, Mimi Sawitri,
juga melanjutkan kuliah. “Mereka punya hak untuk kuliah,” ujar Endo yang
merekomendasikan kedua nama itu ke kampus, juga mengumpulkan sumbangan
guna meringankan biaya kuliah keduanya.
Terobosan Endo ternyata berdampak panjang: mendobrak kebuntuan
regenerasi penari topeng. Sanggar Mulya Bhakti dan Padepokan Tari Mimi
Rasinah kini menerapkan metode belajar yang sistematis dan mudah diikuti
siapa saja, termasuk para guru dan siswa sekolah yang memang tak
bermimpi menjadi penari topeng profesional.
Proses belajarnya ringkas dan praktis. Seperti di lembaga pendidikan
resmi, peserta dilatih menguasai gerak, irama, dan rasa dengan merujuk
modul. Setelah menguasai satu nomor tari misalnya, mereka diuji oleh tim
khusus. Sistem pendidikan tari topeng tak ubahnya kursus piano atau
biola.
Seiring itu, tari topeng pun berkembang. Di kampus-kampus,
gerakan-gerakan dasar dielaborasi hingga menghasilkan banyak gerakan
turunan. Di sejumlah padepokan, nomor-nomor yang melelahkan dipecah agar
mudah dipelajari. “Saya perpendek durasi dengan mengurangi jumlah
ketukan gongnya, tanpa mengurangi esensi geraknya,” kata Earli Dalang
topeng juga lebih terbuka pada media sosial. Earli dan Nur Anani cukup
aktif menyebarkan informasi kegiatan sanggarnya melalui Facebook dan Twitter. Wangi bahkan menerima layanan wawancara melalui Line.
Kebangkitan tari topeng meniupkan gairah segar berkesenian di
Indramayu. Di sepanjang Jalur Pantura, pelang-pelang pentas memenuhi
jalanan. Dan tak cuma di jalan utama. Gang becek dan jalan setapak yang
membelah sawah juga dipenuhi spanduk grup tarling, organ tunggal, singa
depok, singa barong, hingga sandiwara. Indramayu, kabupaten yang punya
citra suram di dunia malam, seperti memasuki babak baru: menjadi salah
satu sentra seni rakyat.
Fenomena itu turut mencipratkan rezeki ke banyak seniman, termasuk
orang-orang yang bergerak di belakang layar. Perajin topeng Warsad Darya
mengaku kebanjiran order usai tari topeng digemari oleh banyak
kalangan. Katanya, kehidupan seni Indramayu mengalami titik balik pada
1994 saat Endo dan kawan-kawan berhasil merevitalisasi tari topeng.
“Dulu mah topeng gak ada yang beli. Grupnya aja tak ada yang nanggap,”
kenangnya. Kini, dia tak cuma menerima order dari komunitas topeng
lokal, tapi juga sekolah-sekolah seni di Jakarta, Bandung, Solo, bahkan
Kalimantan. “Saya juga pernah mendapat pesanan dari Prancis dan
Belanda,” tambah dalang bertubuh kurus ini. Belakangan, peminatnya
merambah kalangan kolektor.
Warsad membuat topeng secara manual. Waktu pengerjaan tak jelas,
karena dia bekerja mengikuti suasana hati. Di bengkelnya, tak ada topeng
ready stock. Semuanya harus dipesan khusus. Satu kedok paling
murah dibanderol Rp300 ribu, dan bisa meroket hingga Rp3 juta di
kalangan kolektor. “Asal catnya kelihatan burek, justru laku mahal,” ujar Warsad.
Ki Rohedi, dalang wayang kulit terkenal, juga kebanjiran berkah dari
bergairahnya dunia seni. “Untuk November tahun ini saja sudah dipesan
sejak November tahun lalu,” ujarnya. Rumahnya di Desa Kedung cukup
megah. Dindingnya dilapisi keramik. Sebuah jip terparkir di pekarangan.
“Ini semua dari mendalang loh,” ujarnya bangga. Biasanya rumah mentereng di sini dibangun dari uang kiriman TKW dan bukan dari kreativitas di panggung.
Rohedi salut melihat tari topeng kini diterima khalayak luas. Tari ini
dipelajari di sekolah hingga kampus. Pencapaian ini, katanya, tak lepas
dari keberanian para dalang dalam berkreasi, misalnya dengan meringkas
tarian, menulis kurikulum, hingga merekam tembang-tembang pengiring.
“Seniman memang harus berinovasi,” katanya.
0 komentar:
Posting Komentar