Tari Topeng Cirebon dengan gerakan tangan dan tubuh yang gemulai, serta iringan musik yang didominasi oleh kendang dan rebab, memang memiliki ciri khas tersendiri. Tidak hanya itu, ternyata sarat makna dan filosofis.
Tari topeng Cirebon adalah salah satu tarian tradisional yang ada di Cirebon – Jawa Barat Indonesia. Tari ini dinamakan tari topeng karena ketika beraksi sang penari memakai topeng.
Konon pada awalnya, Tari Topeng diciptakan oleh sultan Cirebon yang cukup terkenal, yaitu Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon, terjadilah serangan oleh Pangeran Welang dari Karawang.
Pangeran ini sangat sakti karena memiliki pedang yang diberi nama Curug Sewu. Melihat kesaktian sang pangeran tersebut, Sunan Gunung Jati tidak bisa menandinginya walaupun telah dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Pangeran Cakrabuana. Akhirnya sultan Cirebon memutuskan untuk melawan kesaktian Pangeran Welang itu dengan cara diplomasi kesenian.
Berawal dari keputusan itulah kemudian terbentuk kelompok tari, dengan Nyi Mas Gandasari sebagai penarinya. Setelah kesenian itu terkenal, akhirnya Pangeran Welang jatuh cinta pada penari itu, dan menyerahkan pedang Curug Sewu itu sebagai pertanda cintanya.
Bersamaan dengan penyerahan pedang itulah, akhirnya Pangeran Welang kehilangan kesaktiannya dan kemudian menyerah pada Sunan Gunung Jati. Pangeran itupun berjanji akan menjadi pengikut setia Sunan Gunung Jati yang ditandai dengan bergantinya nama Pangeran Welang menjadi Pangeran Graksan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Tari Topeng Cirebon inipun kemudian lebih dikenal dengan nama Tari Topeng dan masih berkembang hingga sekarang.
Dalam tarian ini biasanya sang penari berganti topeng hingga tiga kali secara simultan, yaitu topeng warna putih, kemudian biru dan ditutup dengan topeng warna merah. Uniknya, tiap warna topeng yang dikenakan, gamelan yang ditabuh pun semakin keras sebagai perlambang dari karakter tokoh yang diperankan.
Tari Topeng Cirebon ini diawali dengan formasi membungkuk, formasi ini melambangkan penghormatan kepada penonton dan sekaligus pertanda bahwa tarian akan dimulai. Setelah itu, kaki para penari digerakkan melangkah maju-mundur yang diiringi dengan rentangan tangan dan senyuman kepada para penontonnya.
Gerakan ini kemudian dilanjutkan dengan membelakangi penonton dengan menggoyangkan pinggulnya sambil memakai topeng berwarna putih, topeng ini menyimbolkan bahwa pertunjukan pendahuluan sudah dimulai.
Setelah berputar-putar menggerakkan tubuhnya, kemudian para penari itu berbalik arah membelakangi para penonton sambil mengganti topeng yang berwarna putih itu dengan topeng berwarna biru. Proses serupa juga dilakukan ketika penari berganti topeng yang berwarna merah. Uniknya, seiring dengan pergantian topeng itu, alunan musik yang mengiringinya maupun gerakan sang penari juga semakin keras. Puncak alunan musik paling keras terjadi ketika topeng warna merah dipakai para penari.
Seperti yang disebutkan diatas, masing-masing warna topeng yang dikenakan mewakili karakter tokoh yang dimainkan, sebut saja misalnya warna putih. Warna ini melambangkan tokoh yang punya karakter lembut dan alim. Sedangkan topeng warna biru, warna itu menggambarkan karakter sang ratu yang lincah dan anggun. Kemudian yang terakhir, warna merah menggambarkan karakter yang berangasan (tempramental) dan tidak sabaran. Dan busana yang dikenakan penari sendiri adalah biasanya selalu memiliki unsur warna kuning, hijau dan merah yang terdiri dari toka-toka, apok, kebaya, sinjang, dan ampreng.
Jika anda berminat untuk menyaksikan tarian yang dimainkan oleh satu atau beberapa orang penari cantik, seorang sinden, dan sepuluh orang laki-laki yang memainkan alat musik pengiring, di antaranya rebab, kecrek, kulanter, ketuk, gendang, gong, dan bendhe ini, silahkan datang saja ke Cirebon. Tarian ini biasanya akan dipentaskan ketika ada acara-acara kepemerintahan, hajatan sunatan, perkawinan maupun acara-acara rakyat lainnya.
Makna dan Filosofis Tari Topeng Cirebon
Tari topeng Panji Cirebon
Selain memiliki nilai historis, Tari Topeng Cirebon sarat akan makna dan filosofis. Terutama untuk tari jenis topeng Panji yang terkenal sangat paradoks itu.
Kenapa dikatakan paradoks karena dalam tari topeng Panji Cirebon ini terkandung unsur-unsur yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan itu dapat ditemukan dari beberapa hal yang diantaranya adalah topeng yang dikenakan dalam tari Topeng Panji yang berwarna putih polos tanpa hiasan sama sekali hingga tak dapat dibedakan apakah topeng ini menggambarkan sosok lak-laki atau sosok perempuan, gerak tari pun demikian, tak dapat dibedakan apakah itu gerak seorang yang mewakili sifat maskulinitas lelaki atau femininitas perempuan.
Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya begitu gemuruh. Kalau meminjam kata-katanya Prof. Drs. Jakob Sumardjo,
gerak Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”.
Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki diam. Satu hal lainnya yang membuat tari topeng panji Cirebon sedemikian paradoks adalah karena meski tari ini dihadirkan sebagai pembuka dari rangkaian tari topeng Cirebon lainnya yakni Pamindo-Rumyang dan Patih-Kelana tapi tari panji mengandung unsur dari keempat tari topeng itu sendiri. Ia hadir selaku pembuka sekaligus juga perwujudan dari klimaks pertunjukan tari topeng itu sendiri.
Selain itu, untuk menarikan tari topeng panji ini tidak sembarang orang bisa menarikannya. Itulah sebabnya ada pendapat yang mengatakan bahwa hakikinya pada zaman dulu tari topeng panji ini adalah jenis tarian para raja Jawa yang lebih dekat ke sisi spiritualnya daripada sebagai tontonan.
Pendapat ini muncul karena Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja Majapahit yaitu Prabu Hayam Wuruk pernah menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit.
Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja). Pun begitu dengan Raden Patah yang menari Topeng di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya.
Inilah yang membuktikan bahwa Tari Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.
Dan karena sakralnya tarian ini maka sebelum pelaksanaan tari topeng Cirebon ini seorang penari harus terlebih dahulu melakukan laku puasa, berpantang pada sesuatu, dan semedi. Selain itu juga dipersembahkan segala macam sesajian yang mengandung unsur-unsur dualisme sekaligus pengesaan yang antara lain mewujud dalam berbagai sesajian yang sering dijumpai yang diantaranya bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki.
Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.