Sabtu, 04 Januari 2020

LANGKAH DEMI LANGKAH RITUAL TARI TOPENG MIMI RASINAH




Gemuruh langkah kaki puluhan gadis kecil berbaju kutung merah memecah keheningan pagi sepanjang Jalan Pandawa II, Desa Pekandangan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Di belakang mereka, para ibu membuntut memangku aneka persembahan. Mulai tumpeng berbahan nasi putih dan kuning, jajanan pasar, hingga kuluban (lalapan).
Langkah rombongan terhenti di muka bangunan bergapura bentar, bak punden berundak. Mereka memasuki selasar, menghampiri serenta mencium tangan perempuan senja berkerudung hitam. Sejurus kemudian, para ibu bergantian memberi antaran.
Iki kanggo unjungan, (Ini untuk unjungan),” kata seorang ibu saat memberi tumpeng kepada Mimi Wacih, putri mendiang Mimi Rasinah, Maestro Tari Topeng Indramayu. Unjungan bermakna berkunjung. Sekali setahun, masyarakat Indramayu rutin menggelar unjungan, menziarahi makam leluhur, berdoa, dan mengenang laku hidup para pendahulu mereka.
Para keturunan, anak-anak sanggar, dan tetamu penari-penari asal Jawa, Eropa, Amerika, serta Amerika Latin memadati selasar menggelar unjungan kepada leluhur Ciweni. Mereka duduk melingkar di tengah antaran. Berdoa dan mengenang Mimi Rasinah. Unjungan itu pun berlanjut santap bersama beragam antaran.


Di tengah riuh selamatan, Mimi Wacih menepi mengangkat satu tumpeng beralas semacam tampah berbahan plastik biru. Ia keluar melalui pintu samping, memasuki areal pemakaman leluhur Ciweni, lalu menaruh tumpeng tepat di bawah pohon besar berusia ratusan tahun, bersebelahan dengan makam ibunya.
Ia membakar dupa. Menabur kembang tujuh rupa. Bersila di atas tikar pandan. Menghening. Setempo berselang, mulutnya komat-kamit mengirim puja-puji. “Kabeh selamet. Kabeh Berkah. (Semua selamat. Semua berkah),” ucapnya.
Usai berdoa, ia mendatangi putrinya, Aerli Rasinah memberi setampah bunga, lantas meminta prosesi selanjutnya segera bergulir. Keduanya berbagi tugas. Mimi Wacih mempersiapkan sesaji, sementara Aerli mengatur anak-anak sanggar bersiap berziarah.
Dua Maestro ‘Bertemu’
“Mbak, minta ijin mau ziarah Mimi Ras,” pinta lelaki berambut highlight pirang kepada Aerli. Si lelaki, Rianto, tersohor sebagai pengampu tari Lengger Lanang (Lelaki) Banyumas. Ia sengaja hadir sedari pagi mengikuti seluruh prosesi sekaligus ingin memenuhi nazar.
“Saya mau mempertemukan secara spiritual Mimi Rasinah dengan Dariah,” kata penari kelahiran Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah . Keinginannya muncul seketika kala sedang khusyuk berdoa di makam ‘Mbok’ Dariah beberapa waktu sebelumnya. Ia menganggap ada kesamaan energi antara kedua maestro. “Genderless. Keduanya mengangkat isu gender,” papar lelaki nan kini menetap di Jepang.
Mimi Rasinah, lanjut Rianto, menari sangat maskulin saat mementaskan Topeng Kelana, sebaliknya Dariah bergerak sangat feminim ketika menari Lengger Lanang. Sepulang ziarah, Rianto langsung menemui keluarga almarhum gurunya.
Ia meminjam salah satu barang perangkat tari Dariah, berupa sehelai sampur merah saga. Sampur pusaka itu kemudian turut berangkat menemani kelompok Lengger Lanang Langgeng Sari menuju Indramayu.
Setiba di sanggar, pagi hari jelang prosesi, Rianto meletakan sampur di antara topeng-topeng, sesaji, dan gambar sketsa Mimi Rasinah. Benda-benda pusaka tersebut sudah semalaman menjalani ritual rutin saban malam Jumat. Selamatan Topeng.
Ia sempat bersemadi. Memejamkan mata. Jejampian. Manunggal. Perlahan menghela napas lalu membuka mata. “Lega! Satu tahap selesai,” kata Rianto.
Selang beberapa menit, empunya hajat mengajaknya menuju makam. Ia pun bergegas menuntaskan nazar terakhir. Menziarahi Mimi Rasinah.
Menziarahi Mimi
Rianto meletakan sampur di ujung pusara. Suasana berubah haru saat doa mulai mengudara. Di sebrangnya, Mimi Wacih meratap, sesekali mengisak, selagi talapak tagannya mengusap-usap kijing berglasir acian semen berbubuh asma ibunya, Rasinah binti Lastra. Ia masih mematung ketika cucu pertama Mimi Rasinah, Edi Supriadi, serta Aerli menabur bunga. Disambung anak-anak sanggar. Hayo pegang, ben entuk berkah, ben pinter nari kayak Mimi Ras. (Ayo pegang, agar dapat berkah, biar pintar menari seperti Mimi Ras),” ucap seorang ibu berkerudung oranye kala meminta anaknya ‘ngalap berkah’ menyentuh sisi belakang kijing sang maestro. Si anak pun menuruti.
Setiap anak sanggar mendambakan bisa terampil menari seperti Mimi Rasinah. Mereka menabalkan sosoknya sebagai suri teladan. Meski raganya telah tiada, jiwa dan energinya tak pernah padam. Bahkan terus terkenang melalui tradisi unjungan. Tradisi itu pun menjadi sarana terbaik anak-anak menyambung energi dan mengunduh jejak perjuangannya.
“Menari itu perjuangan tanpa henti,” kata Aerli menirukan petuah Mimi Rasinah. Kata-kata itu terpatri di benaknya sedari kecil. Ia bahkan menjadi saksi hidup jatuh-bangun sang nenek menghidupi dan melestarikan Tari Topeng. Tak heran bila petuah dan teladan itu memecut semangatnya untuk terus melanjutkan perjuangan dan menularkannya kepada anak-anak sanggar.
Usai ziarah, raut muka anak-anak sanggar berubah merekah. Mereka kegirangan sewaktu boneka tandu berbentuk Singa dan Garuda tiba di muka sanggar.
Haul Rasinah
Anak-anak mengerubung, berebut menunggang, tapi satu-dua lainnya menjauh karena takut rupa boneka. Orang Indramyu menyebut boneka tandu tersebut Kuda atau Singa Depok. Kesenian tradisional serupa Sisingaan (Gotong Singa) tersebut acap menjadi sarana mengarak pengantin sunat sebelum menjalani khitan untuk sejenak menghilangkan rasa takut.
Aerli sengaja memanggil kesenian Kuda Depok untuk menarik minat anak-anak saat helaran atau arak-arakan berlangsung. “Biar anak-anak seneng. Enggak bosen,” tuturnya. Kehadiran Kuda Depok berikut gema musik Tarling saat arak-arakan terbukti menambah semarak. Bahkan, menyita perhatian masyarakat sekitar.
Begitu mendengar iringan musik, seorang ibu seketika masuk rumah, lalu membopong buah hatinya keluar untuk bergabung dengan masyarakat lainnya. Mereka antusias menonton barisan serbamerah bergerak mengular memenuhi jalan raya. “Iki ana hajat apa sih, Yu? (Ini ada acara apa sih, Mbak?)”, tanyanya kepada seorang perempuan.
Tak beroleh jawaban, ibu tersebut memutuskan mengikuti arak-arakan sejauh 1,1 km menuju Taman Tugu Perjuangan Indramayu. Di sana, ia melihat baliho besar bertulis Tetirah, Tribute to Mimi Rasinah, tempat rombongan arak-arakan bermuara.
Ketidaktahuan sang ibu cukup berlasan, lantaran Tetirah merupakan gelaran kali pertama peringatan haul Mimi Rasinah mengusung konsep festival berskala internasional. Penari-penari berkebangsaan Spanyol, Italia, Jerman, Serbia, Kosta Rika, Argentina, dan Amerika, serta penari beberapa daerah di Jawa turut hadir meramaikan acara, mempersembahkan beragam tarian, tradisi hingga kontemporer.
Sejatinya, acara sejenis acap terselenggara saban tahun, tiap tanggal 7 Agustus. Namun, secara konsep dan sajian sangat jauh berbeda. Peringatan haul tahun-tahun sebelumnya berlangsung sederhana di areal sanggar. Rangkaian acara pun sebatas unjungan, selamatan, ziarah, dan pentas tari anak-anak sanggar.
Aerli mengaku cukup kerepotan mempersiapkan segala persiapan Tetirah. Mulai pendaanan hingga jadwal pengisi acara, termasuk penari mancanegara. Selain itu, persiapan semakin pendek karena pihaknya mendapat undangan kenegaraan, mengisi acara di luar negeri. “Harusnya kan Agustus, akhirnya acara dimajukan jadi bulan Mei,” ungkapnya.
Gadai Sawah
Keberanian menggelar Tetirah justru mendapat apresiasi positif berbagai pihak. Kepala Disbudpar Indramayu, Odang Kusmayadi, menganggap acara peringatan haul dengan kemasan berbeda sangat diperlukan bagi penikmat seni dan budaya di Indramayu.
Kehadiran penari mancanegara, lanjut Odang, sangat baik pula untuk memacu kaum muda semakin mencintai tari tradisi. “Masa orang asing mau belajar tradisi, kita tidak!” keluhnya. “Kami ingin acara ini menjadi agenda rutin tiap tahun”.
Menjadi acara tahunan memang penting, tapi Silvia Larrauri sebagai art director, menginginkan agar masyakarat tak lupa terhadap kultur serta esensi peringatan haul Mimi Rasinah.
Ia memang bukan semata bagian panitia dan pengisi acara, tapi telah lama menjadi murid sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah. “Saya memilki koneksi dengan Rasinah. Saya ingin orang Indramayu juga begitu,” ungkap perempuan berjuluk Putri Tanjung.



Di antara meriah sanjungan terhadap gelaran Tetirah, terdapat sekelumit cerita miris tentang pendanaan. Meski telah beroleh sponsor, pihak sanggar sebagai shahibul hajat harus putar akal mendapat modal untuk pendanaan beragam persiapan. Maklum dana sponsor baru akan cair setelahnya. “Sawah satu udah digadai buat modal,” ungkap Aerli, lalu tertawa terkikih.
Ia dan pihak sanggar memang sudah terbiasa mencari aneka cara mendapat modal untuk beragam kegiatan dan pentas Tari Topeng. Tak heran bila berkali-kali benda-benda berharga ‘masuk sekolah’ (digadaikan). “Kemarin juga sertifikat tanah sanggar baru ‘lulus sekolah’,” kelakarnya. (*)Yudi Anugrah/Dwi Astarini

0 komentar:

Posting Komentar