Gemuruh langkah kaki puluhan gadis kecil berbaju
kutung merah memecah keheningan pagi sepanjang Jalan Pandawa II, Desa
Pekandangan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Di belakang mereka, para
ibu membuntut memangku aneka persembahan. Mulai tumpeng berbahan nasi
putih dan kuning, jajanan pasar, hingga kuluban (lalapan).
Langkah rombongan terhenti di muka bangunan bergapura bentar, bak
punden berundak. Mereka memasuki selasar, menghampiri serenta mencium
tangan perempuan senja berkerudung hitam. Sejurus kemudian, para ibu
bergantian memberi antaran.
“Iki kanggo unjungan, (Ini untuk unjungan),” kata seorang ibu saat memberi tumpeng kepada Mimi Wacih, putri mendiang Mimi Rasinah, Maestro Tari Topeng Indramayu. Unjungan bermakna berkunjung. Sekali setahun, masyarakat Indramayu rutin menggelar unjungan, menziarahi makam leluhur, berdoa, dan mengenang laku hidup para pendahulu mereka.
Para keturunan, anak-anak sanggar, dan tetamu penari-penari asal
Jawa, Eropa, Amerika, serta Amerika Latin memadati selasar menggelar unjungan kepada leluhur Ciweni. Mereka duduk melingkar di tengah antaran. Berdoa dan mengenang Mimi Rasinah. Unjungan itu pun berlanjut santap bersama beragam antaran.
Di tengah riuh selamatan, Mimi Wacih menepi mengangkat satu tumpeng
beralas semacam tampah berbahan plastik biru. Ia keluar melalui pintu
samping, memasuki areal pemakaman leluhur Ciweni, lalu menaruh tumpeng
tepat di bawah pohon besar berusia ratusan tahun, bersebelahan dengan
makam ibunya.
Ia membakar dupa. Menabur kembang tujuh rupa. Bersila di atas tikar
pandan. Menghening. Setempo berselang, mulutnya komat-kamit mengirim
puja-puji. “Kabeh selamet. Kabeh Berkah. (Semua selamat. Semua berkah),” ucapnya.
Usai berdoa, ia mendatangi putrinya, Aerli Rasinah memberi setampah
bunga, lantas meminta prosesi selanjutnya segera bergulir. Keduanya
berbagi tugas. Mimi Wacih mempersiapkan sesaji, sementara Aerli mengatur
anak-anak sanggar bersiap berziarah.
Dua Maestro ‘Bertemu’
“Mbak, minta ijin mau ziarah Mimi Ras,” pinta lelaki berambut highlight
pirang kepada Aerli. Si lelaki, Rianto, tersohor sebagai pengampu tari
Lengger Lanang (Lelaki) Banyumas. Ia sengaja hadir sedari pagi mengikuti
seluruh prosesi sekaligus ingin memenuhi nazar.
“Saya mau mempertemukan secara spiritual Mimi Rasinah dengan Dariah,”
kata penari kelahiran Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah .
Keinginannya muncul seketika kala sedang khusyuk berdoa di makam ‘Mbok’
Dariah beberapa waktu sebelumnya. Ia menganggap ada kesamaan energi
antara kedua maestro. “Genderless. Keduanya mengangkat isu gender,” papar lelaki nan kini menetap di Jepang.
Mimi Rasinah, lanjut Rianto, menari sangat maskulin saat mementaskan
Topeng Kelana, sebaliknya Dariah bergerak sangat feminim ketika menari
Lengger Lanang. Sepulang ziarah, Rianto langsung menemui keluarga
almarhum gurunya.
Ia meminjam salah satu barang perangkat tari Dariah, berupa sehelai
sampur merah saga. Sampur pusaka itu kemudian turut berangkat menemani
kelompok Lengger Lanang Langgeng Sari menuju Indramayu.
Setiba di sanggar, pagi hari jelang prosesi, Rianto meletakan sampur
di antara topeng-topeng, sesaji, dan gambar sketsa Mimi Rasinah.
Benda-benda pusaka tersebut sudah semalaman menjalani ritual rutin saban
malam Jumat. Selamatan Topeng.
Ia sempat bersemadi. Memejamkan mata. Jejampian. Manunggal. Perlahan
menghela napas lalu membuka mata. “Lega! Satu tahap selesai,” kata
Rianto.
Selang beberapa menit, empunya hajat mengajaknya menuju makam. Ia pun
bergegas menuntaskan nazar terakhir. Menziarahi Mimi Rasinah.
Menziarahi Mimi
Rianto meletakan sampur di ujung pusara. Suasana berubah haru saat
doa mulai mengudara. Di sebrangnya, Mimi Wacih meratap, sesekali
mengisak, selagi talapak tagannya mengusap-usap kijing berglasir acian
semen berbubuh asma ibunya, Rasinah binti Lastra. Ia masih mematung
ketika cucu pertama Mimi Rasinah, Edi Supriadi, serta Aerli menabur
bunga. Disambung anak-anak sanggar. “Hayo pegang, ben entuk berkah, ben pinter nari kayak Mimi Ras.
(Ayo pegang, agar dapat berkah, biar pintar menari seperti Mimi Ras),”
ucap seorang ibu berkerudung oranye kala meminta anaknya ‘ngalap berkah’
menyentuh sisi belakang kijing sang maestro. Si anak pun menuruti.
Setiap anak sanggar mendambakan bisa terampil menari seperti Mimi
Rasinah. Mereka menabalkan sosoknya sebagai suri teladan. Meski raganya
telah tiada, jiwa dan energinya tak pernah padam. Bahkan terus terkenang
melalui tradisi unjungan. Tradisi itu pun menjadi sarana terbaik anak-anak menyambung energi dan mengunduh jejak perjuangannya.
“Menari itu perjuangan tanpa henti,” kata Aerli menirukan petuah Mimi
Rasinah. Kata-kata itu terpatri di benaknya sedari kecil. Ia bahkan
menjadi saksi hidup jatuh-bangun sang nenek menghidupi dan melestarikan
Tari Topeng. Tak heran bila petuah dan teladan itu memecut semangatnya
untuk terus melanjutkan perjuangan dan menularkannya kepada anak-anak
sanggar.
Usai ziarah, raut muka anak-anak sanggar berubah merekah. Mereka
kegirangan sewaktu boneka tandu berbentuk Singa dan Garuda tiba di muka
sanggar.
Haul Rasinah
Anak-anak mengerubung, berebut menunggang, tapi satu-dua lainnya
menjauh karena takut rupa boneka. Orang Indramyu menyebut boneka tandu
tersebut Kuda atau Singa Depok. Kesenian tradisional serupa Sisingaan
(Gotong Singa) tersebut acap menjadi sarana mengarak pengantin sunat
sebelum menjalani khitan untuk sejenak menghilangkan rasa takut.
Aerli sengaja memanggil kesenian Kuda Depok untuk menarik minat anak-anak saat helaran atau arak-arakan berlangsung. “Biar anak-anak seneng. Enggak bosen,”
tuturnya. Kehadiran Kuda Depok berikut gema musik Tarling saat
arak-arakan terbukti menambah semarak. Bahkan, menyita perhatian
masyarakat sekitar.
Begitu mendengar iringan musik, seorang ibu seketika masuk rumah,
lalu membopong buah hatinya keluar untuk bergabung dengan masyarakat
lainnya. Mereka antusias menonton barisan serbamerah bergerak mengular
memenuhi jalan raya. “Iki ana hajat apa sih, Yu? (Ini ada acara apa sih, Mbak?)”, tanyanya kepada seorang perempuan.
Tak beroleh jawaban, ibu tersebut memutuskan mengikuti arak-arakan
sejauh 1,1 km menuju Taman Tugu Perjuangan Indramayu. Di sana, ia
melihat baliho besar bertulis Tetirah, Tribute to Mimi Rasinah, tempat rombongan arak-arakan bermuara.
Ketidaktahuan sang ibu cukup berlasan, lantaran Tetirah
merupakan gelaran kali pertama peringatan haul Mimi Rasinah mengusung
konsep festival berskala internasional. Penari-penari berkebangsaan
Spanyol, Italia, Jerman, Serbia, Kosta Rika, Argentina, dan Amerika,
serta penari beberapa daerah di Jawa turut hadir meramaikan acara,
mempersembahkan beragam tarian, tradisi hingga kontemporer.
Sejatinya, acara sejenis acap terselenggara saban tahun, tiap tanggal
7 Agustus. Namun, secara konsep dan sajian sangat jauh berbeda.
Peringatan haul tahun-tahun sebelumnya berlangsung sederhana di areal
sanggar. Rangkaian acara pun sebatas unjungan, selamatan, ziarah, dan pentas tari anak-anak sanggar.
Aerli mengaku cukup kerepotan mempersiapkan segala persiapan Tetirah.
Mulai pendaanan hingga jadwal pengisi acara, termasuk penari
mancanegara. Selain itu, persiapan semakin pendek karena pihaknya
mendapat undangan kenegaraan, mengisi acara di luar negeri. “Harusnya
kan Agustus, akhirnya acara dimajukan jadi bulan Mei,” ungkapnya.
Gadai Sawah
Keberanian menggelar Tetirah justru mendapat apresiasi positif
berbagai pihak. Kepala Disbudpar Indramayu, Odang Kusmayadi, menganggap
acara peringatan haul dengan kemasan berbeda sangat diperlukan bagi
penikmat seni dan budaya di Indramayu.
Kehadiran penari mancanegara, lanjut Odang, sangat baik pula untuk
memacu kaum muda semakin mencintai tari tradisi. “Masa orang asing mau
belajar tradisi, kita tidak!” keluhnya. “Kami ingin acara ini menjadi
agenda rutin tiap tahun”.
Menjadi acara tahunan memang penting, tapi Silvia Larrauri sebagai art director, menginginkan agar masyakarat tak lupa terhadap kultur serta esensi peringatan haul Mimi Rasinah.
Ia memang bukan semata bagian panitia dan pengisi acara, tapi telah
lama menjadi murid sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah. “Saya memilki
koneksi dengan Rasinah. Saya ingin orang Indramayu juga begitu,” ungkap
perempuan berjuluk Putri Tanjung.
Di antara meriah sanjungan terhadap gelaran Tetirah, terdapat
sekelumit cerita miris tentang pendanaan. Meski telah beroleh sponsor,
pihak sanggar sebagai shahibul hajat harus putar akal mendapat
modal untuk pendanaan beragam persiapan. Maklum dana sponsor baru akan
cair setelahnya. “Sawah satu udah digadai buat modal,” ungkap Aerli,
lalu tertawa terkikih.
Ia dan pihak sanggar memang sudah terbiasa mencari aneka cara
mendapat modal untuk beragam kegiatan dan pentas Tari Topeng. Tak heran
bila berkali-kali benda-benda berharga ‘masuk sekolah’ (digadaikan). “Kemarin juga sertifikat tanah sanggar baru ‘lulus sekolah’,”
kelakarnya. (*)Yudi Anugrah/Dwi Astarini
0 komentar:
Posting Komentar